Piagam Jakarta atau Jakarta Charter dirumuskan oleh Panitia Sembilan yang dibentuk pada 1 Juni 1945 yang diketuai Ir. Sukarno dan diwakil ketuakan oleh Drs. Mohammad Hatta dan beranggotakan A.A. Maramis, Abikusno Cokrosuyoso, KH. Agus Salim, KH. Wahid Hasyim, A.K.
Muzakir, Ahmad Subardjo, dan Muhammad Yamin pada 22 Juni 1945, Anggota Panitia Sembilan dilantik pada 28 Mei 1945. Sidang Panitia Sembilan menghasilkan naskah yang semula akan dijadikan sebagai teks proklamasi kemerdekaan, namun pada akhirnya dijadikan pembukaan UUD 1945 yang kemudian disebut sebagai Piagam Jakarta,
Piagam Jakarta berisi; Bahwa sesungguhnya kemerdekaan itu hak segala bangsa dan oleh sebab itu, penjajahan di atas dunia harus dihapuskan. Karena tidak sesuai dengan perikemanusiaan dan perikeadilan. Dan perjuangan pergerakan kemerdekaan Indonesia telah sampailah kepada saat yang berbahagia dengan selamat sentosa mengantarkan rakyat Indonesia ke depan pintu gerbang kemerdekaan negara Indonesia, yang merdeka, bersatu, berdaulat, adil dan makmur.
Atas berkat rahmat Allah Yang Maha Kuasa dan dengan didorongkan oleh keinginan luhur, supaya berkehidupan kebangsaan yang bebas, maka rakyat Indonesia menyatakan dengan ini kemerdekaannya. Kemudian daripada itu untuk membentuk suatu pemerintah negara Indonesia yang melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial, maka disusunlah kemerdekaan kebangsaan Indonesia itu dalam suatu Undang-Undang Dasar negara Indonesia, yang terbentuk dalam suatu susunan negara Republik Indonesia yang berkedaulatan rakyat dengan berdasar kepada: 1.
Ketuhanan Yang Maha Esa, 2. Kemanusiaan yang adil dan beradab.3. Persatuan Indonesia.4. Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan, 5. Serta dengan mewujudkan suatu keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia,
Sebenarnya, sila pertama tersebut ialah Ketuhanan Yang Maha Esa dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya, Namun, sila pertama tersebut diubah karena pertimbangan bahwa Indonesia yang merupakan gugusan pulau dari Sabang hingga Merauke, sehingga banyak budaya dan agama, dasar negara tersebut tidak berdasarkan agama tertentu.
Dan juga, pada saat itu Indonesia bagian timur banyak yang menganut agama non-Islam sehingga menolak sila pertama. Sila pertama tersebut diubah pada 18 Agustus 1945 menjadi Ketuhanan Yang Maha Esa oleh Mohammad Hatta atas usul A.A. Maramis setelah berkonsultasi dengan Kasman Singodimedjo, Ki Bagus Hadikusumo dan Teuku Muhammad Hasan, dan disahkan oleh Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI),
Apa itu Piagam Jakarta 22 Juni 1945?
Naskah Piagam Jakarta yang ditulis dengan menggunakan Ejaan yang Disempurnakan, Kalimat yang mengandung “tujuh kata” yang terkenal dicetak tebal dalam gambar ini | |
Pengarang | Panitia Sembilan |
---|---|
Judul asli | Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, Mukadimah |
Negara | Indonesia |
Bahasa | Indonesia ( Ejaan Van Ophuijsen ) |
Tanggal terbit | 22 Juni 2605 dalam kalender Jepang (22 Juni 1945 dalam kalender Gregorius ) |
Teks | Piagam Jakarta di Wikisource |
Piagam Jakarta adalah rancangan Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD 1945). Rancangan ini dirumuskan oleh Panitia Sembilan Badan Penyelidikan Usaha-Usaha Persiapan Kemerdekaan (BPUPK) di Jakarta pada tanggal 22 Juni 1945.
Piagam ini mengandung lima sila yang menjadi bagian dari ideologi Pancasila, tetapi pada sila pertama juga tercantum frasa “dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya”. Frasa ini, yang juga dikenal dengan sebutan “tujuh kata”, pada akhirnya dihapus dari Pembukaan UUD 1945 pada tanggal 18 Agustus 1945 oleh Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia, yaitu badan yang ditugaskan untuk mengesahkan UUD 1945.
Tujuh kata ini dihilangkan atas prakarsa Mohammad Hatta yang pada malam sebelumnya menerima kabar dari seorang perwira angkatan laut Jepang bahwa kelompok nasionalis dari Indonesia Timur lebih memilih mendirikan negara sendiri jika tujuh kata tersebut tidak dihapus.
- Pada tahun 1950-an, ketika UUD 1945 ditangguhkan, para perwakilan partai-partai Islam menuntut agar Indonesia kembali ke Piagam Jakarta.
- Untuk memenuhi keinginan kelompok Islam, Presiden Soekarno mengumumkan dalam Dekret Presiden 5 Juli 1959 (yang menyatakan kembali ke UUD 1945) bahwa Piagam Jakarta “menjiwai” UUD 1945 dan “merupakan suatu rangkaian kesatuan dengan konstitusi tersebut”.
Makna dari kalimat ini sendiri terus memantik kontroversi sesudah dekret tersebut dikeluarkan. Kelompok kebangsaan merasa bahwa kalimat ini sekadar mengakui Piagam Jakarta sebagai suatu dokumen historis, sementara kelompok Islam meyakini bahwa dekret tersebut memberikan kekuatan hukum kepada “tujuh kata” dalam Piagam Jakarta, dan atas dasar ini mereka menuntut pengundangan hukum Islam khusus untuk Muslim.
Siapa yang menyepakati naskah Piagam Jakarta yang berisi rancangan Pembukaan UUD?
Lantas apa perbedaan rumusan dasar negara dalam piagam jakarta dengan pembukaan UUD 1945? – Pada 11 Juli 1945, Panitia Perancang Undang-Undang menyetujui isi preambule (Pembukaan UUD) yang diambil dari Piagam Jakarta. Panitia Perancang Undang-Undang membentuk sebuah panitia kecil lagi yang diketuai oleh Prof.
Dr. Mr. Soepomo. Mereka bertugas untuk merumuskan isi pembukaan UUD yang kemudian hasilnya disempurnakan bahasanya oleh Panitia Penghalus Bahasa. Panitia ini terdiri dari Husein Jayadiningrat, Agus Salim, dan Supomo. Pembukaan dan batang tubuh rancangan UUD yang dihasilkan disahkan oleh PPKI pada 18 Agustus 1945.
Namun, sebelum disahkan, pembukaan UUD yang diambil dari Piagam Jakarta mengalami perubahan. Tepatnya pada 17 Agustus 1945 sore, seorang opsir angkatan laut Jepang menemui Drs. Mohammad Hatta. Opsir tersebut menyampaikan keberatan dari tokoh-tokoh rakyat Indonesia bagian Timur atas kalimat dalam sila pertama Piagam Jakarta.
- Moh. Hatta dan Ir.
- Soekarno meminta empat tokoh Islam, Ki Bagus Hadikusumo, Wahid Hasyim, Mr.
- Asman Singodimejo, dan Mr.
- Teuku Moh.
- Hasan untuk membicarakan hal tersebut.
- Setelah berdiskusi, akhirnya disepakati rumusan pada sila pertama dalam Piagam Jakarta diganti dengan Ketuhanan Yang Maha Esa.
- Esepakatan ini menunjukkan toleransi yang tinggi.
Artinya, para pejuang menyadari bahwa Indonesia multikultural yang didirikan di tengah keberagaman, baik suku, ras, maupun agama. Menurut buku Modul Resmi SKB dan SKD karya Tim Psikologi Salemba, rumusan ‘Ketuhanan’ dalam Piagam Jakarta belum mampu mengakomodasi seluruh agama atau keyakinan yang dipeluk bangsa Indonesia.
Oleh karena itu, rumusan dasar negara dalam sila pertama tersebut mengalami perubahan. Hasil revisi inilah yang disebutkan dalam Pembukaan UUD 1945 sebagai rumusan dasar negara yang sah dan benar. Hal itu pun ditegaskan dalam Instruksi Presiden Nomor 12 Tahun 1968. Jadi, perbedaan rumusan dasar negara dalam Piagam Jakarta dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD 1945) terdapat pada sila pertama.
Berikut rumusan dasar negara dalam Pembukaan UUD 1945 setelah diubah.1. Ketuhanan Yang Maha Esa; 2. Kemanusiaan yang adil dan beradab; 3. Persatuan Indonesia; 4. Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan; 5. Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.
Kenapa diberi nama mukadima atau Piagam Jakarta?
Jawaban: agar dapat menghubungkan,mempersatukan paham – yang ada di kalangan angota BPUPKI.