Tokoh Islam dengan kebesaran hati merelakan Piagam Jakarta untuk Indonesia. REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA – Pancasila sebagai ideologi negara dalam sejarahnya mengalami dinamika dalam apa yang disebut ‘Piagam Jakarta’. Pancasila dalam Pembukaan UUD 1945 yang otentik disebut bersumber pada Piagam Jakarta.
- Lahirnya Piagam Jakarta itu merupakan kesepakatan dari perdebatan antara kalangan nasionalis dan Islam.
- Sebagai persiapan membentuk sebuah negara Indonesia yang merdeka, dibentuklah Badan Penyelidik Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) pada 29 April 1945.
- BPUPKI dibentuk untuk merumuskan kembali Pancasila sebagai dasar negara.
Salah satu yang dibahas dalam rapat-rapat penting badan ini adalah menyangkut landasan filosofis negara yang hendak didirikan. Pada sidang pertama, muncul kelompok yang memilih kebangsaan sebagai dasar negara yang memisahkan unsur agama dan negara, dan kelompok yang memilih Islam sebagai dasar negara.
- Mengutip buku berjudul “Piagam Jakarta” oleh Linda Asy-Syifa, disebutkan bahwa Naskah Persiapan UUD 1945 jilid II yang disusun oleh Muhammad Yamin tidak memuat satu pun pidato para anggota nasionalis Islam.
- Pidato yang dimuat hanyalah tiga, yakni pidato Soekarno, Yamin dan Soepomo.
- Sementara itu, BPUPKI juga merumuskan bentuk pemerintahan melalui pemungutan suara.
Terdapat 45 suara pemilih dasar negara kebangsaan, dan 15 suara memilih Islam sebagai dasar negara. Untuk mengakomodasi kepentingan kelompok nasionalis dan Islam itu, dibentuklah panitia kecil yang beranggotakan sembilan orang untuk menyelenggarakan tugas tersebut.
- Sembilan orang itu di antaranya, Ir Sukarno, Mohammad Hatta, Mr AA Maramis, Abikoesno Tjokrosoejoso, Abdul Kahar Muzakir, H Agus Salim, Mr Achmad Subardjo, KH Wahid Hasyim, dan Mr Muhammad Yamin.
- Akhirnya, rumusan teks proklamasi yang dirancang Panitia Sembilan ini kemudian disetujui pada 22 Juni 1945, yang diberi nama ‘Piagam Jakarta’.
Nama Piagam Jakarta sendiri diusulkan Moh Yamin. Perumusan kompromi dalam bentuk Piagam Jakarta itu salah satunya memuat sila pertama Pancasila, yakni Ketuhanan yang diikuti kalimat yang berbunyi, “dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya.” Soekarno kemudian membacakan Piagam Jakarta tersebut pada 10 Juli 1945 pada sidang BPUPKI.
- Sehari setelah pidato Soekarno itu, seorang Protestan anggota BPUPKI bernama Latuharhary menyatakan keberatan langsung atas tujuh kata di belakang kata Ketuhanan pada Piagam Jakarta.
- Beberapa orang anggota BPUPKI yang keberatan juga termasuk Wongsonegoro dan Hosein Djajadiningrat.
- Sementara Agus Salim melihatnya secara netral, walaupun cenderung mendukung Piagam Jakarta.
Prof Dr Ahmad Syafii Maarif dalam bukunya berjudul “Mencari Autensitas dalam Dinamika Zaman”, menuliskan bahwa rumusan itu hanya bertahan selama 57 hari hingga akhirnya anak kalimat dari kata ketuhanan dicoret dari batang tubuh Undang-undang Dasar (UUD) 1945 karena alasan politis dan agama.
Siapa sajakah 4 tokoh yang diajak berunding terhadap keberatan dari wakil Indonesia bagian timur dengan sila pertama Piagam Jakarta?
Jakarta – Menjelang peringatan Hari Pahlawan tahun ini, Presiden Jokowi menetapkan lima nama pahlawan nasional baru. Berdasarkan Keppres No.116/TK/Tahun 2015 tertanggal 4 November, mereka adalah: Benhard Wilhem Lapian, Mas Isman, I Gusti Ngurah Made Agung, Komjen Moehammad Jasin, dan Ki Bagus Hadikusumo.
- Untuk mengenang sebagian jasa mereka, tulisan ini bermaksud mengungkap sepenggal kisah mengenai peran penting Ki Bagus Hadikusumo dalam perumusan dasar-dasar negara Indonesia merdeka pada masa menjelang kemerdekaan Indonesia.
- Pemerintah Jepang, setelah menyadari hampir tidak mungkin memenangkan Perang Dunia II, semakin memberi kesempatan para tokoh pergerakan untuk mempersiapkan pranata bagi sebuah Negara Indonesia yang merdeka.
Karena itu, kesempatan yang lama ditunggu-tunggu oleh kaum pergerakan untuk berkumpul guna merancang suatu negara merdeka, terwujud pada 28 Mei 1945 dengan berdirinya Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI). Badan yang terdiri dari 62 anggota tersebut diberi kebebasan besar oleh Pemerintah Jepang untuk membicarakan persoalan-persoalan konstitusional.
Bagi para pendiri bangsa tersebut, inilah kesempatan untuk membuktikan bahwa penderitaan selama masa pendudukan Jepang tidaklah sia-sia. Dilihat dari sisi jumlah, komposisi BPUPKI menempatkan gagasan kelompok nasionalis sekuler sebagai pihak dominan. Pihak yang kurang terwakili adalah pulau-pulau luar Jawa, kaum Marxis berorientasi Barat, dan terutama kaum nasionalis Muslim.
Dari jumlah itu, hanya sekitar 11 orang mewakili kelompok Islam, termasuk di antaranya tokoh-tokoh Muhammadiyah, yakni Mas Mansur (Ketua Umum PP Muhammadiyah 1936-1942), Ki Bagus Hadikusumo (Ketua Umum PP Muhammadiyah 1942-1953), dan Abdul Kahar Muzakkir.
- Pembicaraan dalam BPUPKI mengenai dasar negara bagi Indonesia yang akan merdeka memunculkan tiga konsep, yakni Pancasila, Islam, dan sosial-ekonomi.
- Namun konsep terakhir tidak terlalu menjadi bahan perbincangan, karena larut dalam perdebatan ideologis antara dua konsep pertama.
- Perdebatan ideologis itu sebenarnya telah muncul sejak era kebangkitan nasionalisme di awal abad ke-20.
Pada masa itu, kaum nasionalis dari berbagai latar belakang etnis, daerah, dan ideologis bersatu dalam dua buah keyakinan yang sama: suatu negara-bangsa Indonesia dapat menciptakan modernitas, dan penjajah Belanda menghalangi aspirasi itu. Koalisi ini mencakup tiga pandangan utama, yakni Marxis, Muslim, dan developmentalis (Cribb: 2001, 32-37).
- Etegangan antar visi modernitas itu terus berkembang, khususnya antara kalangan Muslim dan developmentalis, pada 1930-an.
- Sampai awal 1940-an, polemik tersebut berkembang jauh melampaui masalah nasionalisme dan menyentuh masalah lebih penting, yakni hubungan politik antara Islam dan negara.
- Elompok pertama menyatakan bahwa Indonesia harus menjadi negara Islam, atau Islam harus menjadi dasar ideologi negara.
Sedang kelompok kedua mengusulkan dibentuknya sebuah negara kesatuan nasional di mana persoalan negara dipisahkan dari persoalan agama.
Apa yang menjadi latar belakang penyebab sila pertama pada Piagam Jakarta dirubah?
Ilustrasi latar belakang perubahan rumusan dasar negara sila pertama naskah Piagam Jakarta. Sumber: Kumparan/Shutterstock Pancasila merupakan ideologi atau dasar negara Indonesia yang kita gunakan hingga saat ini. Seperti yang kita tahu, Pancasila sendiri terdiri dari 5 sila yang digagas Ir.
- Soekarno pada 1 Juni 1945 melalui pidato spontannya di hadapan anggota BPUPKI.
- Namun tahukah kamu bahwa sila pertama Pancasila yang kita kenal sekarang sebenarnya tidak sama dengan gagasan awal Pancasila lho! Rumusan awal sila-sila dalam Pancasila itu sendiri pada dasarnya tercantum dalam isi Piagam Jakarta, namun dalam sidang PPKI (Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia) tanggal 18 Agustus 1945 akhirnya sila pertama Pancasila tersebut diubah.
Melansir dari buku Menggores Tinta di Lembah Hijau, Muhammad Nurudin (2019: 153), latar belakang perubahan rumusan dasar negara sila pertama naskah Piagam Jakarta menurut Mohammad Hatta disebabkan oleh adanya rasa keberatan dari wakil-wakil pemeluk agama lain dengan rumusan sila pertama yang berbunyi “Ketuhanan dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya”.
Rakyat Indonesia memiliki latar belakang agama dan kepercayaan yang berbeda-beda sehingga rumusan “Ketuhanan dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya” tidak dapat mewakili seluruh rakyat Indonesia. Tokoh pendiri bangsa Indonesia berusaha untuk menampung aspirasi dan pendapat dari perwakilan Indonesia Timur khususnya dari para pemeluk agama lain Perubahan rumusan sila pertama dilakukan untuk mempertahankan keutuhan dan persatuan serta kesatuan bangsa Indonesia
Demikianlah ulasan singkat terkait latar belakang perubahan rumusan dasar negara sila pertama naskah Piagam Jakarta, Semoga informasi tadi dapat bermanfaat! (HAI)
Siapa saja tokoh yang memberi pendapat mengenai dasar negara Indonesia?
Tokoh yang mengusulkan rumusan dasar negara. (Foto: Ant) JAKARTA – Ada tiga tokoh yang mengusulkan rumusan dasar negara. Mereka adalah Mohammad Yamin, Soepomo dan Soekarno. Tiga tokoh ini merupakan tokoh sentral terhadap lahirnya Pancasila. Badan Penyelidik Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) bertujuan untuk membahas hal-hal yang berhubungan dengan tata pemerintahan Indonesa, termasuk dasar negara.
- Demikian dikutip dari laman Kota Cimahi.
- Sidang BPUPKI inilah yang menjadi sejarah Pancasila sebagai dasar negara.
- Sidang BPUPKI ini diketuai oleh Dr.
- Radjiman Widyodiningrat dengan 33 pembicara pada sidang pertama BPUPKI pada 29 Mei-1 Juni 1945.
- Mohammad Yamin (29 Mei 1945) Mohammad Yamin yang merupakan salah satu tokoh penting kemerdekaan Indonesia, mengusulkan dasar negara yang disampaikan dalam pidato tidak tertulisnya pada sidang BPUPKI yang pertama, diantaranya peri kebangsaan, peri kemanusiaan, peri ketuhanan, peri kerakyatan, dan kesejahteraan rakyat.
Setelah itu, beliau juga mengusulkan rumusan 5 dasar yang merupakan gagasan tertulis naskah rancangan UUD Republik Indonesia, yaitu: 1. Ketuhanan Yang Maha Esa.2. Kebangsaan Persatuan Indonesia.3. Rasa Kemanusian yang Adil dan Beradab.4. Kerakyatan yang Dipimpin oleh Hikmah Kebijaksanaan dalam Permusyawaratan/Perwakilan.5.
Siapakah tokoh yang memberi nama Piagam Jakarta brainly?
Jakarta – Panitia Sembilan merupakan panitia kecil yang dibentuk dalam momen akhir sidang pertama dari BPUPKI (Badan Penyelidik Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia) yang berlangsung pada 29 Mei-1 Juni 1945. Anggota Panitia Sembilan ditetapkan pada 22 Juni 1945, begini sejarahnya.
Seperti diketahui, BPUPKI yang dipimpin Dr. Radjiman Widyadiningrat bertugas merumuskan di antaranya bentuk negara dan dasar filsafat negara. Seperti diutarakan Ahmad Syafii Maarif dalam bukunya Islam dan Politik, terjadi perdebatan sengit dalam sidang BPUPKI yang digelar di Gedung Cuo Sangi-In (sekarang Gedung Pancasila Kementerian Luar Negeri) antara wakil-wakil umat Islam dan pemimpin-pemimpin nasionalis.
Pandangan nasionalisme tidak mau membawa agama ke dalam masalah kenegaraan. Sedangkan aspirasi politik golongan Islam adalah diusulkannya Islam sebagai dasar filosofis negara yang hendak didirikan. “Bagi mereka (golongan Islam) Islam itu serba lengkap, meliputi seluruh dimensi kehidupan manusia,” tulis Syafii Maarif.
- Pada hari terakhir dibentuk Panitia Delapan di bawah pimpinan Sukarno beranggotakan Hatta, Soetardjo Kartohadikoesoemo, Wahid Hasyim, Ki Bagus Hadikusumo, Otto Iskandardinata, M.
- Yamin, dan AA Maramis yang bertugas menampung dan mengidentifikasi rumusan dasar negara pada sidang BPUPKI.
- Hanya saja sampai akhir sidang pertama 1 Juni 1945, belum diperoleh kesepakatan yang bulat tentang rumusan dasar negara.
Tanggal 22 Juni 1945 pagi bertempat di gedung kantor Djawa Hokokai, seputaran Lapangan Banteng panitia kecil tersebut dan sejumlah anggota BPUPKI menggelar rapat. Rapat di gedung kantor Djawa Hokokai tersebut di antaranya menyepakati pembentukan panitia kecil lain yang kemudian disebut Panitia Sembilan dengan maksud untuk menyusun rumusan dasar negara.
Ir. Sukarno (Ketua)Mohammad Hatta (Wakil Ketua)Muhammad Yamin (Anggota)A.A Maramis (Anggota)Mr. Achmad Soebardjo (Anggota dari Golongan Kebangsaan)Kyai Haji Wahid Hasyim (Anggota)Abdulkahar Muzakkir (Anggota)Haji Agus Salim (Anggota)R. Abikusno Tjokrosoejoso (Anggota dari Golongan Islam).
Dikutip dari modul Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan Paket B Tingkatan III karya Nanik Pudjowati, M.Pd. usulan yang masuk, kemudian dikelompokkan oleh panitia sembilan ke dalam beberapa golongan antara lain: -Usul yang meminta untuk Indonesia merdeka selekas-lekasnya; -Usul mengenai dasar; -Usul mengenai soal unifikasi dan federasi; -Usul mengenai bentuk negara dan kepala negara; -Usul mengenai warga negara; -Usulmengenai daerah; -Usul mengenai soal agama dan negara; -Usul mengenai pembelaan, -Usul mengenai soal keuangan.
Siapa saja tokoh tokoh yang merumuskan Piagam Jakarta?
Piagam Jakarta dirumuskan oleh Panitia Sembilan. Anggota Panitia Sembilan adlah : Ir. Sukarno (ketua), Abdulkahar Muzakir, Drs. Moh. Hatta, K.H. Abdul Wachid Hasyim, Mr. Moh. Yamin, H. Agus Salim, Ahmad Subarjo, Abikusno Cokrosuryo, dan A.A. Maramis.