Apakah kalian hafal isi dari dasar negara kita? Pancasila yang selalu dikumandangkan setiap upacara bendera adalah hasil dari Piagam Jakarta. Artikel ini akan membahas tentang Piagam Jakarta dan juga hubungannya dengan Undang-Undang Dasar 1945. Sejarah piagam Jakarta tidak terlepas dari masa pendudukan Jepang saat perang dunia kedua.
- Perang dunia kedua membuat Jepang kewalahan.
- Ala itu, Jepang harus berurusan dengan lawan yang tangguh, yaitu Amerika Serikat.
- Untuk menghindari kekalahan, berbagai upaya dilakukan Jepang untuk mendapatkan dukungan dan hati rakyat Indonesia, salah satunya adalah menjanjikan kemerdekaan bagi Indonesia.
Sebagai langkah konkret dari perjanjian itu, dibentuklah Dokuritsu Junbi Cosakai atau disebut juga dengan Badan Penyelidik Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI). Badan ini bertugas untuk menetapkan dasar negara Indonesia dan merumuskan undang-undang dasarnya.
Pada 1 Maret 1945, Jepang mengumumkan berdirinya BPUPKI dengan 63 anggota. Dalam sidang perdana di 29 Mei 1945, Dr. KRT. Radjiman Wedyodiningrat selaku ketua BPUPKI bertanya dalam bahasa Jawa, “Indonesia merdeka mengkemeniko dasaripun menopo? ” yang artinya, “Indonesia merdeka nanti dasarnya apa?” Berangkat dari satu pertanyaan ini, maka BPUPKI melakukan sidang besar yang berlangsung dari 29 Mei – 1 Juni 1945 untuk menentukan dasar negara.
Terdapat tiga tokoh yang mengajukan gagasan dasar negara, mereka adalah Muhammad Yamin, Soepomo, dan Soekarno. Muhammad Yamin pada 29 Mei 1945 membuat rumusan sebagai berikut:
Peri KebangsaanPeri KemanusiaanPeri KetuhananPeri Kerakyatan: (1) Permusyawaratan, (2) Perwakilan, (3) KebijaksanaanKesejahteraan Rakyat (Keadilan Sosial)
Dua hari kemudian, tepatnya 31 Mei 1945, Soepomo membuat rumusan sebagai berikut:
Persatuan (Persatuan Hidup)KekeluargaanKeseimbangan lahir batinMusyawarahSemangat gotong royong (keadilan sosial)
Sedangkan rumusan yang dibuat oleh Soekarno pada 1 Juni 1945 adalah sebagai berikut:
Nasionalisme (kebangsaan Indonesia)Internasionalisme (Peri Kemanusiaan)Mufakat (demokrasi)Kesejahteraan SosialKetuhanan Yang Maha Esa (Ketuhanan yang Berkebudayaan)
Gagasan yang diberikan pada saat itu tidak langsung mendapat persetujuan dari seluruh anggota BPUPKI karena terdapat perbedaan yang mencolok antara dua buah kubu. Sebuah kubu dalam persidangan yang berisikan 15 orang golongan Islam (religius) menginginkan Indonesia berdasarkan syariat Islam, sementara 47 orang golongan nasionalis menginginkan Indonesia berasaskan semangat sekularisme dan kebangsaan.
- Dikarenakan pembahasan dasar negara belum mencapai mufakat, maka diputuskanlah sebuah komite khusus untuk menyelesaikan perselisihan dalam sidang.
- Omite ini disebut dengan Panitia Sembilan.
- Panitia Sembilan bertugas menyusun naskah rancangan yang akan digunakan dalam pembukaan hukum dasar negara yang kemudian disebut sebagai Piagam Jakarta atau Jakarta Charter,
Tokoh yang mengusulkan nama Piagam Jakarta adalah Muhammad Yamin. Piagam Jakarta dirumuskan oleh Panitia Sembilan yang anggotanya adalah:
- Soekarno – tokoh nasionalisMohammad Hatta – tokoh nasionalisAchmad Soebardjo – tokoh nasionalisMohammad Yamin – tokoh nasionalisA.A.
- Menurutnya, yang sebenarnya menjadi landasan Republik Indonesia bukanlah Pembukaan UUD 1945, tetapi Piagam Jakarta, karena piagam tersebutlah yang dianggap telah membuka jalan menuju Proklamasi Kemerdekaan Indonesia.
- Ia juga menggunakan perumpamaan cahaya dalam Surah An-Nur 24:35-36: Piagam Jakarta diumpamakan sebagai pelita yang menjadi sumber cahaya bagi UUD 1945 dan menerangkan jalan yang telah dan akan dilalui oleh bangsa Indonesia.
- Pada 21 Mei, Perdana Menteri Djuanda menjawab berbagai pertanyaan anggota Konstituante terkait dengan pidato Soekarno pada 22 April.
- Ia menjelaskan bahwa meskipun pengakuan Piagam Jakarta sebagai dokumen historis bukan berarti bahwa piagam ini langsung memiliki kekuatan hukum, piagam ini diakui telah menjiwai UUD 1945, terutama Pembukaan dan Pasal 29.
Apa yang dimaksud dengan piagamjakarta?
Hari ini 75 tahun lalu tercetus Piagam Jakarta yang digariskan tokoh Islam. Senin, 22 Jun 2020, 14:32 WIB dok. Istimewa Hari ini 57 tahun lalu tercetus Piagam Jakarta yang digariskan tokoh Islam.Rapat BPUPKI Rep: Zainur Mahsir Ramadhan Red: Nashih Nashrullah REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA — Hampir 75 tahun yang lalu, tepatnya awal Agustus, Jepang mendapat posisi buruk di perang pasifik, terlebih ketika Hiroshima dan Nagasaki dibom pada 6 Agustus silam. Hal tersebut membuat Jepang makin terpuruk sehingga menimbulkan keuntungan tersendiri bagi Indonesia. Baca Juga Dikutip buku Intelegensia Muslim dan Kuasa oleh Yudi Latif, atas dasar tersebut komando tertinggi Jepang di Saigon mengumumkan agar dibentuk Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) sebagai penerus BPUPKI. Namun, pembentukan PPKI yang dimaksudkan untuk mempercepat persiapan terakhir pembentukan sebuah pemerintahan Indonesia memiliki latar belakang yang berbeda dari BPUPKI. BPUPKI berlandaskan latar belakang ideologis, sebaliknya PPKI memiliki latar belakang kedaerahan. Dengan alasan tersebut, tokoh Muslim dan kunci dari BPUPKI terpaksa mundur atau tak masuk ke dalam daftar anggota PPKI. Sebut saja Agus Salim, Ahmad Sanusi, Abikusno Tjokrosujoso, serta Wongsonegoro, dan Muhammad Yamin. Tak masuknya tokoh Muslim itu dianggap berpotensi buruk bagi pandangan negara bermayoritas Muslim ini. Terlebih, dari 21 anggota di badan PPKI itu, 12 di antaranya merupakan pemimpin nasionalis sekuler generasi kolot. Tokoh Muslim saat itu di PPKI hanya ada dua, Ki Bagus Hadikusumo dari Muhammadiyah dan Kiai Wachid Hasyim dari NU. Namun demikian, terbukti pada akhirnya, bersama tokoh Islam lainnya saat itu, mereka mampu berkompromi terkait sila pertama yang diubah total. Dalam satu poin, dalam autobiografi Muhammad Hatta, Muhammad Hatta: Memoir (1979), dia mengaku kedatangan utusan Kaigun, yang memberitahu bahwa umat Kristen dan agama lainnya di daerah timur dan Kalimantan keberatan atas pembukaan UUD. Secara spesifik, disebutkan suatu kalimat dengan tujuh kata bentukan panitia sembilan BPUPKI pada hari ini, 22 Juli, 75 tahun lalu, yang berbunyi: ” dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya”. Menanggapi hal itu, mayoritas panitia sembilan mengaku tak berkeberatan, termasuk satu anggota Kristen, AA Maramis, dan anggota sisanya yang lain dari latar belakang Islam serta empat di antaranya yang mengaku sekuler. Namun, Ki Bagus Hadikusumo, pucuk pimpinan Muhammadiyah saat itu, merasa keberatan awalnya. Sebab, kalimat itu adalah hasil mufakat dari rapat BPUPKI 22 Juni 1945. Meski Kasman Singodimedjo dan Teuku M Hasan membujuk Ki Bagus agar menerima saran Mohammad Hatta, karena keputusan akhir ada padanya, usulan kembali diajukan. Namun demikian, tetap saja dalam pandangan Hatta pembukaan UUD harus ditujukan bagi seluruh rakyat Indonesia tanpa terkecuali. Alhasil, pada 18 Agustus, tokoh Muhammadiyah, Mr Kasman Singodimedjo, diminta Soekarno datang untuk membicarakan hal tersebut dengan Hatta dan tokoh lainnya, termasuk saat itu adalah Ki Bagus Hadikusumo.Apakah pengakuan piagamjakarta sebagai dokumen historis?
Perdebatan mengenai Piagam Jakarta di Konstituante – Pada sidang Konstituante berikutnya, para tokoh Islam kembali mengangkat isu soal Piagam Jakarta. Salah satunya adalah Saifuddin Zuhri dari Nahdlatul Ulama yang kelak akan menjadi Menteri Agama, Ia meminta agar pemerintah menyatakan bahwa Piagam Jakarta memiliki makna hukum dan dapat dijadikan sumber hukum untuk mengundangkan hukum Islam bagi Muslim.
Di sisi lain, perwakilan dari Partai Kristen Indonesia, Johannes Chrisos Tomus Simorangkir, menyatakan bahwa Piagam Jakarta hanyalah dokumen historis yang mendahului Pembukaan UUD 1945, sehingga piagam tersebut bukan dan tidak dapat dijadikan sumber hukum. Abdoel Kahar Moezakir menyesalkan bahwa Piagam Jakarta diangkat lagi bukan untuk dijadikan undang-undang dasar, tetapi hanya untuk memuaskan kelompok Islam.
Perwakilan dari Persatuan Tarbiyah Islamiyah dan Partai Syarikat Islam Indonesia menyatakan bahwa mereka akan mendukung pengembalian UUD 1945 jika Piagam Jakarta dijadikan Pembukaan UUD 1945. Perwakilan dari Partai Syarikat Islam Indonesia juga meminta agar tujuh kata dalam Piagam Jakarta juga ditambahkan ke dalam Pasal 29 UUD 1945. Perwakilan dari Nahdlatul Ulama Zainul Arifin mengumpamakan Piagam Jakarta sebagai pelita yang menjadi sumber cahaya UUD 1945 dan menerangi jalan bangsa Indonesia. Perumpamaan cahaya ini berasal dari Surah An-Nur 24:35-36 Perdebatan mengenai Piagam Jakarta mencapai puncaknya ketika Zainul Arifin dari Nahdlatul Ulama menyampaikan pidatonya pada 12 Mei 1959.
Oleh sebab itu, ia meyakini bahwa Piagam Jakarta sepatutnya diakui sebagai norma dasar negara dan perundang-undangannya. Pandangan semacam ini ditentang oleh anggota Konstituante dari Partai Komunis Indonesia, M.A. Khanafiah, yang meyakini bahwa Piagam Jakarta hanyalah rancangan Pembukaan UUD 1945 yang tidak pernah disahkan oleh lembaga yang berwenang pada saat itu, yaitu PPKI.
Kemudian ia mempresentasikan rancangan Piagam Bandung yang berisi pengakuan tersebut.
Kapan isu tentang piagamjakarta kembali merebak?
Permasalahan Piagam Jakarta – Dalam menyusun Piagam Jakarta tersebut, ada masalah yang cukup menimbulkan polemik pada saat itu. Dimana, tokoh Islam dengan tokoh kebebasan dari timur ada perbedaan pendapat. Selain itu, timbul juga pemahaman-pemahaman lain yang terus bergejolak diantara para tokoh-tokoh yang berunding. Berikut ini, beberapa permasalahan yang timbul saat sedang menyusun Piagam Jakarta, yaitu:
- Adanya protes dari utusan Indonesia Timur mengenai kata “Ketuhanan dengan kewajiban menjalankan Syariah Islam bagi pemeluk-pemeluknya” Yang ada pada naskah Piagam Jakarta. Delegasi Indonesia Timur beralasan kalo hal tersebut mencerminkan Indonesia berdasarkan syariat Islam, jadi penganut agama lain menjadi warga nomor 2. Buat mengatasi hal ini Drs. Mohamad Hatta dan Ir. Soekarno mengadakan rapat gak resmi dengan tokoh Islam diantaranya Ki Bagus Hadikusumo, Wahid Hasyim dan Teuku Mohammad Hasan. Melalui perbincangan panjang akhirnya para tokoh Islam setuju buat menghapus 7 kata tersebut dan diganti dengan Ketuhanan Yang Maha Esa. Lalu, terjadi juga perubahan pada UUD 1945 pasal 6 ayat 1 yang semula berbunyi “Presiden adalah orang Indonesia asli dan beragama Islam” jadi “Presiden adalah orang Indonesia asli”. Perubahan selanjutnya pada pasal 29 ayat 1 yang awalnya berbunyi “Negara berdasarkan atas Ketuhanan, dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya” diubah jadi “Negara yang berdasarkan atas Ketuhanan yang Maha Esa.” Saat itu banyak tokoh Islam yang merasa kecewa, karena naskah yang perundingannya memakan waktu cukup lama yaitu 21 hari, tapi kemudian dirubah cuma dalam beberapa menit aja. Bahkan salah satu tokoh Masyumi M. Isa Anshari dalam sidang Konstituante 1957, mengungkapkan kekecewaannya pada Soekarno yang dinilai inkosisten. Isa menganggap Soekarno yang gigih memperjuangkan Piagam Jakarta, tapi kemudian malah mempelopori buat mengubahnya. Isu tentang Piagam Jakarta kembali merebak pada Januari 1959, saat Soekarno membuat wacana mengembalikan Piagam Jakarta.
Apakah piagamjakarta merupakan bagian dari UUD 1945?
Janji pengakuan pada awal 1959 – Sementara anggota Konstituante tidak dapat menyepakati undang-undang dasar yang baru, Jenderal Abdul Haris Nasution menyatakan pada 13 Februari 1959 bahwa Tentara Nasional Indonesia (TNI) “memelopori usaha” kembali ke UUD 1945.
Menurut pendapat anggota Konstituante dari Partai Masyumi Djamaluddin Datuk Singomangkuto dan teolog Belanda B.J. Boland, Soekarno mendukung kembalinya UUD 1945 agar ia dapat menerapkan gagasan demokrasi terpimpinnya, Pada 19 Februari, Kabinet Djuanda menyetujui secara bulat “Putusan Dewan Menteri mengenai Pelaksanaan Demokrasi Terpimpin dalam Rangka Kembali ke UUD 1945”.
Putusan ini menyatakan bahwa UUD 1945 dapat menjamin penerapan demokrasi terpimpin. Selain itu, putusan ini juga menyatakan bahwa untuk memenuhi aspirasi golongan Islam, keberadaan Piagam Jakarta diakui. Di bagian penjelasan juga diterangkan bahwa tujuan pengembalian UUD 1945 adalah untuk memulihkan potensi nasional secara keseluruhan, termasuk dari kelompok Islam. Perdana Menteri Indonesia Djuanda Kartawidjaja (1957–1959). Pada Maret 1959, ia menjelaskan bahwa “pengakuan adanya Piagam Jakarta sebagai dokumen historis bagi Pemerintah berarti pengakuan pula akan pengaruhnya terhadap UUD 1945. Jadi pengaruh termaksud tidak mengenai Pembukaan UUD 1945 saja, tetapi juga mengenai pasal 29 UUD 1945, pasal mana selanjutnya harus menjadi dasar bagi kehidupan hukum di bidang keagamaan.” Pada 3 dan 4 Maret 1959, Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) diberi kesempatan untuk mengajukan pertanyaan kepada kabinet terkait dengan Putusan Dewan Menteri, dan pemerintah akan menjawab pertanyaan-pertanyaan tersebut secara tertulis.
Sejumlah perwakilan partai Islam meminta penjelasan mengenai Piagam Jakarta. Anwar Harjono dari Partai Masyumi bertanya apakah Piagam Jakarta akan memiliki kekuatan hukum seperti halnya undang-undang dasar atau hanya diakui sebagai dokumen historis saja. Perdana Menteri Djuanda Kartawidjaja menjawab bahwa meskipun Piagam Jakarta bukan merupakan bagian dari UUD 1945, piagam tersebut tetap menjadi sebuah dokumen historis yang sangat penting dalam perjuangan bangsa Indonesia dan perumusan Pembukaan UUD 1945.
Achmad Sjaichu dari Nahdhlatul Ulama juga bertanya “apakah pengakuan Piagam Jakarta berarti pengakuan sebagai dokumen historis saja ataukah mempunyai akibat hukum, yaitu perkataan ‘Ketuhanan’ dalam Mukaddimah UUD 1945 berarti ‘Ketuhanan dengan kewajiban menjalankan syari’atnya’, sehingga atas dasar itu bisa diciptakan perundang-undangan yang bisa disesuaikan dengan syari’at Islam bagi pemeluknya?” Djuanda menjawab bahwa “pengakuan adanya Piagam Jakarta sebagai dokumen historis bagi Pemerintah berarti pengakuan pula akan pengaruhnya terhadap UUD 1945.
Adblockdetector